Kamis, 10 Februari 2011

MAKALAH


MAKALAH
ETIKA OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Etika Pemerintahan
Dosen:
Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan(S-1)



Disusun  Oleh  :
PRAMONO SETIA BUDI
6111071053
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2010

KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan saya kekuatan dan kesehatan, hingga saya dapat mampu menyelesaiakn tugas makalah  Etika Oposisi Dalam Sitem Pemerintahan Indonesia.  Dalam penyusunan makalah ini saya banyak mendapat pelajaran serta kesulitan,tetepi berkat bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak, ahirnya makalah ini dapat diselesikan tepat waktu,oleh karena itu maka dari itu saya ucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Dosen pengampu mata kuliah Etika Pemerintahan
2.      Teman-teman kos
3.      Dan pihak-pihak yang telah member kontribusi dalam proses penyusunan
Saya menyadari sekali,dalam penyususnan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari tata bahasa ataupun masalah tenis penulisan dan jauh dari kata sempurna itu semua semata-mata atas keterbatasan saya dalam proses belajar, oleh karena itu saya harap kritik dan saran guna memperbaiki kelemahan tulisan saya.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini kiranya makalah ini dapat bermanfaat baik untuk pribadi maupun rekan-rekan serta pihak lain yang terinspirasi dari makalah Etika Oposisi Dalam Sitem Pemerintahan Indonesia.



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
indonesia Sebagai bangsa timur mengenal etika sebagai prinsip-prinsi dasar pergaulan antar  individu,  maupun kelompok dengan individu, baik buruknaya etika bergantung pada sistem nilai yang mempengaruhi seperti budaya,agama, dll. sedang Demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik. Tulisan ini akan membahas tentang konsolidasi demokrasi melalui amandemen konstitusi di Indonesia Bicara sistem pemerintahan khususnya Indonesia memang banyak faktor yang mempengaruhi misalkan : Bentuk Negara, Bentuk pemerintahan, Sistem politik, Ideologi, serta Faham kedaulatan  yang dianut sebuah bangsa, rezim yang berkuasa dan ekologi sosial serta kultur masyarakat secara tidak langsung mempengaruhi sistem pemerintahan
Jika kita melihat fenomena dewasa ini, sistem pemerintahan Indonesia di warnai dengan sikap oposisi yang diambil partai demokrasi perjuangan PDI,P  yang merupakan salah satu partai besar di Indonesia hal ini menyebabkan perubahan yang cukup derastis karena sebelumya oposisi merupakan sebuah kata tabu/dilarang disebut dalam sistem pemerintahan di Indonesia selain itu kostitusi kita belum mengatur oposisi dalam pemerintahan Indonesia .
Ini menjadi dilema ketika keberdaan oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia, belum diakui secara konstitusional disisi lain keberadaan oposisi sangat di butuhkan ketika kolisi yang digalang partai pemerintah menimbulkan ketidak seimbanagan kekutan fraksi-fraksi dalam legislatif menimbulkan kehawatiran menimbukan over power pemerintah karena legislative yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan pemerintah justeru menjadi alat legalisasi presiden dalam bertindak, dilemma ini didak semata – mata karena situasional tetapi saya melihat justeru sistemik meyebabkan hal ini dapat kita analisis dalam.
  Sistem multi partai di gunakan ini secara tidak langsung mengakibatkan pecahnya konsentrasi suara dalam pemilihan umum legislatif  kedalam partai - partai kecil ini menimbulkan efek pada partai untuk melakukan koalisi dan oposisi dalam memengkan pemilihan presiden.
Maka dari itu dilema oposisi dalam sistem pemerintahan di Indonesia merupaka dampak sistemik sistem kepartaian, serta dampak ketidak ketegasan sistem pemerintaha seperti apa yang sebenarnya kita jalankan.
Akan tetapi oposisi merupaka kebutuhan yang mendesak dewas ini untuk mewujudkan keseimbangan dalam legislatife, Setelah era reformasi di Indonesia pada 1997, dengan pertimbangan berbagai budaya dan keadaan politik yang rumit, telah berlaku proses desentralisasi pemerintahan dari sistem sentralisasi kepada non-sentralisasi
Dalam sistem pemerintahan Indonesia tidak dapat dipungkiri, pemilu merupakan elemen terpenting demokrasi. Demokrasi hanya bisa hadir dalam partai politik yang tumbuh bebas yang bertarung dalam pemilu yang jujur (Duverger 1963). Hadirnya institusi pemilu yang mantap juga sangat vital dalam konsolidasi demokrasi. Selain itu, pemilu juga sarana efektif untuk menyalurkan partisipasi politik rakyat dan menjamin terpilihnya elit politik yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sejak reformasi, pemilu di Indonesia bisa dikategorikan jujur dan menjadi rujukan kisah sukses terkait dengan konsolidasi demokrasi di negara berkembang.
Dalam Undang-Undang 1945, pemerintah Indonesia merupakan pemerintahan dengan sistem presidensial. Dalam sistem tersebut, ditegaskan bahwa Presiden adalah orang yang nomor satu di pemerintahan. Pada sistem ini pun, menteri-menteri yang diangkat untuk menduduki kabinet, merupakan orang-orang yang terpilih berdasarkan keahliannya (zaken cabinet)  “Yang terjadi saat ini, menteri-menterinya berasal dari berbagai partai. Akhirnya terjadilah kabinet koalisi. Para menteri menjadi perwakilan dari partai-partai. Inilah yang menjadi anomali, keganjilan yang terjadi pada pemerintah kita saat ini” .
Terbentuknya kabinet koalisi ini dikarenakan banyak partai yang mengikuti pemilu. Sehingga Kekuatan rakyat dalam pemiluterpecah ini mengakibatkan tidak ada partai yang mampu mendominsasi kursi dalam legislatif maka dihawatirkan, eksekutif tidak dapat berkerja efektif karena terganjal dalam legislative, selain itu  presiden yang terpilih bukan berdasarkan suara dari partai yang paling banyak dipilih. Akibatnya,  calon presiden harus menggalang kekuatan dengan partai-partai lain.
“Ini pula menjadi anomali pada kondisi politik saat ini. Sistem pemilu yang diterapkan adalah sistem proporsional, seharusnya menggunakan sistem distrik. Dengan sistem proporsional, lebih mudah partai yang masuk ke parlemen, walaupun ada sistem electoral threshold,” lanjutnya.
Sistem-sistem ini diawali dengan tuntutan penerapan demokrasi di Indonesia yang lebih kuat. Tuntutan kebebasan untuk berserikat, berkumpul  dan membentuk partai, diartikan salah oleh sebagian orang. “Demokrasi itu sangat kompleks. Jangan diartikan bebas, sebebas-bebasnya. Demokrasi membutuhkan kedewasaan sosial, ekonomi dan politik. Inilah yang harus dipahami seluruh pihak,”
Selain keganjilan pada sistem kabinet dan pemilu. sistem oposisi. Beberapa partai yang tidak menang pemilu dan tidak berkoalisi, sepakat menjadi oposisi pemerintahan. “Kalau kita menerapkan sistem zaken cabinet dalam pemerintahan presidensial, tentu saja tidak ada yang namanya oposisi. Karena para menteri tidak mewakili partai, jadi mau membela atau melawan partai yang lainnya. Untuk itu dilema oposisi dalam ekologi ( lingkungan ) sistem pemerintahan sekarang yang mengalang Koalisi besar yaitu Demokrat sebagai partai pemerintah, merangkul,Golkar, PKS,PAN ,DAN PKB ini memyebabkan keseimbangan kursi di legislatif tidak seimbang ini menghawatirkan, karena bisa berdampak pada power full pemerintah,
Sementara itu tugas dari legislative sendiri berfungsi sebagai  pengontrol, dan penbuat aturan dalam sistem pemerintahan Indonesia Untuk itu,sikap oposisi yang di tujukan PDIP, GERINDRA, Dan HANURA, menjadi peyeimbang kekuatan dalam legislative sebagai  pengontrol pemerintah dapat mengacu kepada Sila Keempat Pancasila yakni Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. "Itu yang sebenarnya menjadi acuan berpolitik," kata dia. Sedangkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan, di tingkat Pusat dilakukan oleh wakil-wakil PDI Perjuangan di DPR RI. Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai figur yang konsisten memperjuangkan partai dan mempunyai nasionalisme yang tinggi.
Tapi dalam kenyataan dalam aplikasi dalam lapangan menujukan bahwa oposisi yang digalang megawati justeru oposisi yang setengah hati yang di maksud setengah hati adalah oposisi yang di bangun dalam system pemerintahan Indonesia sangat rancu dan lucu pabila kita menarik makna oposisi dan funsi oposisi yang semestinya tidak masuk dalam cabinet Indonesia bersatu jilid II,lalu funsi penyeimbang dan pengawas pemerintah dimana, karena sebagian kader partai PDIP sendiri masuk dalam cabinet, jika PDIP mengkritisi sebuah kebijakan dalam pemerintah seharusnya malu karena sebagian kebijakan yang di buat juga oleh kadernya yang seharusnya sejalan denagan cita – cita dasar partainya.
            Selain itu kesiapan partai yang memposisikan diri untuk menjadi oposisi dalam lingkungan sistem pemerintahan kurang memunjukan fungsi oposisinya tidak terjadi power full kekutan dalam pemerintah yang menyebabkan timbulnya kerawanan terhadap kemunkinan pemerintah menjadi diktaktior terhadap masyarakat dalam menerapkan kebijakan.
1.2  Identifikasi Masalah
1.      Kerancuan sistem pemerintahan Indonesia dalam hal ini, sistem presidensial dengan multi partai menyebabkan multi efek yaitu munculnya koalisi dan oposisi yang merupakan hal baru di Indonesia semenjak runtuhnaya orde baru.
2.      Etika oposisi yang di jalankan faksi-fraksi dalam legislatif cenderung menghalalkan segala cara, menimbulkan efektifitas pemerintahan tergangu
3.      Implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik pemerintahan akan tetapi paying konstitusi belum terbentuk untuk oposisi dalam sistem pemerintahan.

1.3  Batasan   Masalah
Kondisi sistem pemerintahan dan sistem politik di indonesia yang termasuk dalam transisi demokrasi,meyebankan belum telalu matangnya sistem yang ada serta kesiapan psikologi, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pelum terlalu siap menerapkan sistem oposisi dalam pemerintahan indonesia dalam makalah ini menitik beratkan atau menfokuskan pada dilemma kebutuhan keberadaan oposisi dalam gejolak perubaha reformasi dalam sisitem pemerintahan dengan keadaan dan kedudukan posisi hirarki dalam kelembagaan sisitem pemerintahan yang mulai berubah dimana MPR merupakan bukan lembaga tertingi Negara lagi maka oposisi merupakan jawaban sebagai control pemerintahan yang efektif bila kita melihat secara konstitusional memang kedudukan oposisi belum diatur secara khusus, namun denikian DPR yang seharusnya memegang peran sebagi pengawas penerapan kebijakan pemerintah tidak berjalan baik karena DPR terlalu banyak kompromi politik meyebankan kondisi yang rawan terhadap super poweritas presiden sebagai pemimpin pemerintahan, akan tetapi oposisi yang merupakan hal baru di Indonesia maka butuh waktu dan adaptasi sistem konstitusi pemerintahan yang tepat,oleh karena itu peran oposisi dalam sisitem denokrasia adalah
 Mengorganisir kaum marginal (voiceless) melalui pendekatan yang konfrontatif, misalnya menggelar aksi parlemen jalanan yang rawan perpecaha kesatuan bangsa, denagan adanya oposisi dalam sisitem pemerintahan maka gejolak itu mampu ditampung dalam oposisi sehinga mampu tersalurkan secara benar, sehinga dalam proesnya akan memperbaiki sistem.




1.4  Metode Penulisan
Dalam tulisan saya ini saya nenganalisis fenomena oposisi dalam sistem pemerintahan  Indonesia, dengan metode penulisan melalui setudi pustaka dari literature-literatur dalam internet serta buku-buku dan Koran serta data-data lainya secara makalah ini di susun secara deskriptif , wacana ini saya angkat melihan fenomena century, dengan bergulirnya hak angket yang di jalankan DPR untuk menguak sekandal ini, serta pecahnya kolisi dan menangnya oposisi dalam kasus ini
1.5  TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.      Memahami  sistem pemerintahan Indonesia dan etika dalam sistem pemerintahan
2.      Mengetahui perkembanagan sistem pemerintahan di Indonesia
3.      Mengetahui dilema oposisi dalam sistem pemerintahan sekarang ini
4.      Sebangi salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah etika pemerintahan

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Etika
Etika (ethics) adalah sistem dari prinsisp- prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan buruk terhadap tindakan atau prilaku. Etika dapat di bedakan antara etika umum dan etika khusus (terbatas) dikalangan tertentu, misal etika pemerintahan.
Ethics dapat berupa etika (etik), yaitu berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yaitu timbul bukan karena terpaksa ,akan tetapi didasarkan pada ethos dan sepirit ,jiwa dan semangat.ethics dapat berupa etiket,yaitu berasal dari luar diri( menyenangkan orang lain) timbul karena keterpak saan di dasarkan pada norma dan kaidah ketentuan.
Ethics  atau etika dapat juga berarti tatasusila (kesusilaan) dan tata sopan santun ( kesopanan)dalam pergaulan sehari haribaika dalam keluarga maupun,masyarakat, pemerintah,berbangsa, dan bernegara.
Berikut beberapa pengertian yang berkaitan denagan etika:
a.       Etika:               (etik) sistem dari prinsip-prinsip moral, dapat juga berupa rules of conduct, kode sosial (sicial code), etika kehidupan. Dapat berartijuga ilmu pengetahuan tentang moral, atau cabang filsafat
b.      Ethos:              (jiwa) karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu (community,society).
c.       Esprit:              (semangat) semangat d,crops, loyalitas, dan cinta pada kesatuan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
d.      Rule :               (ketentuan dan peratuaran) ketentuan-ketentuan dalam setiap pergaulan masyarakat yang memberi pedoman atau pengawasan tentang benar dan salah
e.       Norma :           merupakan standar kriteria pola, patokan yang mantap dari masyarakat atau pemerintah.
f.       Moral   :           pengerian tentang benar atau salah, prinsip-prinsip yang berhubungan benar dan salah.


2.2 Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
  1. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
  2. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
  3. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berati kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional
2.3 PENGERTIA PEMERINTAHAN
2.3.1 Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif. Dengan segala fungsi dan kewenganya 
2.3.2 Pengertian Pemerintah  Secara etimologi, pemerintah bersala dari perkataan perintah, Pamudji ( 1995 : 23 ) mengartikan kata – kata tersebut sebagai berikut :
    1. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.
    2. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu ngara ( daerah negara atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara ).
    3. Pemerintah adalah perbuatan ( cara, hal urusan dan sebagainya ) memerintah.
Perbedaan pengertian “pemerintah“ dan “pemerintahan “ lazimnya disebut bahwa “ pemerintah “ adalah lembaga atau badan publik yang mempunyai fungsi untuk melakukan upaya mencapai tujuan negara sedangkan “ pemerintahan “ dari aspek dinamikanya.
Ibrahim ( 997 : 35 ) memberikan pengertian pemerintahan sebagai institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan pemerintahan. Menurutnya pemerintah dapat diartikan menjadi dua yaitu :
1.      Artian sempit yaitu eksekutif dan administrasi negara.
2.      Artian luas yang meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif serta administrasi negara.
Sementara itu menurut Samuel Edwar Finer menyatakan bahwa istilah government paling sedikit memiliki empat arti yaitu :
1.      Menunjukan kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the activity or the process of governing).
2.      Menunjukan masalah-masalah Negara dalam nama kegiatan atau proses di atas dijumpai (states of affairy).
3.      Menunjukan orang–orang (pejabat–pejabat) yang dibebani tugas – tugas untuk memerintah (people changed with the duty of governing ).
4.      Menunjukan cara, metode atau system dengan mana suatu masyarakat tentu diperintah (the monner, method or system by which apaarticular society is governed).

                                                2.3.3 Pengertian Pemerintah Daerah
Setelah diberlakukannya Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka menurut pasal 1 ayat (2) dan (3), yaitu :
(2) Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip ekonomi seluas–luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaiman dalam Undang -Undang Dasar Republik Indonesia Taahun 1945.
    (3) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. Sebagai pimpinan penyelenggara Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Adapun kewajiban Kepala Daerah menurut Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana dilakukan pada pasal 22 :
a.       Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
c.       Mengembangkan kehidupan demokrasi
d.      Mewujudkan keadilan pemerataan
e.       Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f.       Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
g.      Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
h.      Mengembangkan sistem jaminan sosial.
i.        Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
j.        Mengembangkan sumber daya produktif di daerah
k.      Melestarikan lingkungan hidup
l.        Mengelola administrasi kependudukan.
m.    Melestarikan nilai sosial budaya.
n.      Membentuk dan menerapkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kewenagannya.




2.4 Pengertian Oposisi
               Oposisi adalah  Maksud partai oposisi loyal sebagaimana Maurice Duverger (dalam Budiardjo, 1996:168) adalah "partai politik yang mengambil posisi di luar pemerintahan karena kalah dalam pemilu dan bertindak sebagai pengecam tetapi setia (loyal oposition) pada kebijaksanaan partai yang duduk di pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu bisa bertukar tangan". 
               Mekanisme bertukar tangan ini secara prosedural demokratis disepakati melalui mekanisme pemilihan umum. Oposisi loyal merupakan cara efektif untuk membangun check and balances dalam dinamika perpolitikan terkait dengan upaya mengelola pemerintahan. Sikap oposisi loyal akan terus melahirkan sikap kritis dan korektif yang objektif antara partai oposisi dan penguasa dalam bingkai aturan main dan cita-cita bersama untuk membangun bangsa, sehingga apa pun kriktik dan koreksi partai tidak diwarnai "sandiwara politik" yang hanya berfungsi ibarat lips service partai di mata rakyatnya.

2.5  SEJARAH PERKEMBANAGAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
  1. Tahun 1945 – 1949
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
    1. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
    2. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.


2.      Tahun 1949 – 1950
Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
3.      Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
  1.  
    1. presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
    2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
    3. Presiden berhak membubarkan DPR.
    4. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
4, Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
5, Tahun 1966 – 1998
Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei ’98.
6.      Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
4. Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
·         Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
·         DPR sebagai pembuat UU.
·         Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
·         DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
·         MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
·         BPK pengaudit keuangan.

5. Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999- 2002)
Ø  MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
Ø  Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
Ø  Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Ø  Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Ø  Kekuasaan Legislatif lebih dominan.

bab iii
Pembahasan
3.1  Etika Pemerintahan
Negara Kita Telah Memiliki Kode Etik Dalam arti yang setinggi-tingginya dan berlaku bagi seluruh bangsa dan warga negara indonesia, yaitu naskah proklamasi dan pembukaan UUD 1945. Proklamasi merupakan titik akumulasi perjuangan bangsa indonesia,
Komleksitas perubahan dalam dinamika mengisi kemerdekana menimbulkan perubanhan yang  dinamis maka perubanh itu harus didasari pada etika dan aturan yang berlaku dalam masyarakt dan bangsa

3.2  Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial


Presiden dan  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya merupakan saudara kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama: rakyat. Keduanya berhubungan dan harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing. Presiden tanpa DPR akan menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa buah atau dengan kata lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan pemerintahan negara dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to execute), bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan (pemerintahan) untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.
Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi DPR adalah pembentukan undang- undang (lawmaker), bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang (RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden dibahas bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam menjalankan fungsi penganggaran DPR menerima dan membahas Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan presiden untuk disetujui menjadi APBN. Presiden melaksanakan APBN, DPR mengawasi pelaksanaannya.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan inilah DPR oleh UUD 1945 diberi instrumen berupa beberapa hak, yaitu hak interpelasi (hak mengajukan pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU, demikian juga presiden. Memang benar sejatinya UUD 1945, apalagi setelah amendemen, menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun.
Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”
DPR “hanya” bisa berpendapat sesuai dengan hak menyatakan pendapat yang dimilikinya bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden tersebut (lihat Pasal 7B ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 UUD 1945). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan hukum acara di sana. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/wakil presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya.
Sebab, presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah terbukti bersalah. Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan sepenuhnya politis dan itu hanya terjadi di dalam (within) dua lembaga politik saja, yaitu DPR (ingat mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden jika DPR menduga presiden melanggar garis-garis besar daripada haluan Negara) dan MPR (melalui Sidang Istimewa) saja.
Sementara setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan menurut penafsiran penulis MK-lah yang lebih menentukan secara signifikan: satu-satunya lembaga negara yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran tersebut di atas itu. 
Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain dan hanya bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.
Hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan lebih dalam relasi checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah; dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan presiden dan dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika presiden tersebut datang dari partai politik yang sama! Kriterium penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak
 Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi! Memang ada pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga negara yang juga berfungsi mengontrol kekuasaannya melalui mekanisme checks and balances, tetapi presiden sebagai kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang berwenang melakukan eksekusi (to excecute). Sampai di sini semuanya jelas dan terang-benderang. Yang namanya DPR, baik partai politik induknya bergabung dalam koalisi pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan, tugas konstitusionalnya adalah menjalankan ketiga fungsi tersebut, terutama pengawasan.
Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely! Sebab siapa pun dia, begitu mereka memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup! Dan karena itu harus diawasi! Dalam konteks dan perspektif ini maka dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara.
Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai politik yang berkoalisi yang menempatkan menteri-menterinya di kabinet/pemerintahan harus berkoalisi untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam perspektif ini maka agak aneh kalau akhir-akhir ini, wacana tentang koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita, utamanya di kalangan pemerhati politik. Walhasil bagi anggota DPR sebenarnya nothing to do dengan sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet, fungsi dan wewenang anggota DPR tetap seperti itu: menjalankan fungsi pengawasan. Konkretnya, kader Golkar yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan dan kader Golkar yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi pengawasan. Tidak peduli meskipun yang diawasi adalah sesama kader Golkar. Walhasil, yang bergabung dalam cabinet bertugas menjalankan pemerintahan negara dan yang bergabung dalam DPR bertugas mengawas jalannya pemerintahan.
3.3                                   Konsekuensi Presidensial di tengah transisi demokrasi     
Sejak reformasi, sistem pemerintahan bergeser dari parlementer “abu-abu” menjadi presidensial. Sistem presidensial mengasumsikan terjadinya mekanisme checks and balances antara presiden baik sebagai kepala pemerintahan (chief of state) maupun sebagai kepala pemerintahan (head of the government) sekaligus berhadapan dengan legislatif (DPR). Baik legislatif maupun eksekutif (Presiden) dihasilkan melalui proses pemilihan yang berbeda. Artinya proses pengisian jabatan politik di tingkat pusat pada sistem presidential dilakukan dalam dua kali pemilihan, pemilu legislatif dan pemilu presiden (Pilpres).
Sebagai pembanding, sistem parlementer hanya memerlukan satu kali pemilihan untuk menentukan elit di pusat, baik legislatif maupun eksekutif. Eksekutif (biasanya disebut perdana menteri) dipilih oleh dan dari anggota legislatif. Kondisi yang hampir mirip pernah dipraktekkan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen.
Logika sistem presidensial yang dipakai di tingkat nasional, diadopsi di tingkat lokal untuk menjamin mekanisme checks and balances tetap berlangsung. Akibatnya elit politik lokal di daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota juga dihasilkan dari dua kali pemilihan. Legislatif dihasilkan dari Pemilu dan eksekutif diperoleh dari Pilkada. Hal ini berdampak luas terhadap ketertarikan rakyat untuk ikut dalam pemilihan berkaitan dengan luas dan banyaknya daerah di Indonesia.
Setelah pemekaran, saat Indonesia memiliki satu pemerintahan di tingkat pusat, 33 provinsi dan 489 kabupaten/kota. Artinya jabatan politik yang harus dipenuhi diselenggarakan oleh pemilihan sebanyak (1+33+489) x 2 = 1046 kali. Dikurangi enam bupati/walikota di Provinsi DKI yang ditetapkan gubernur, Indonesia setidaknya melakukan 1040 pemilu selama lima tahun atau 208 pemilu per tahun. Apablila terdapat 365 hari dalam setahun, hitungan kasar menunjukkan setidaknya pemilihan diadakan setiap dua hari sekali.
Hitungan diatas sengaja tidak memasukkan faktor berupa pemilihan yang diadakan serempak untuk mengisi beberapa jabatan politik di beberapa tingkatan sekaligus yang digelar di beberapa daerah. Tetapi hitungan sederhana diatas, belum ditambah dengan pemilihan di tingkat desa yang juga dua kali, menunjukkan banyaknya pemilihan yang diikuti warga negara pemegang hak pilih. Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut sebagai electionist atau bosan memilih. Pemilu bukan lagi peristiwa menantang yang dihadapi sekali dalam sekian periode tertentu, tetapi membosankan karena dilakukan berulang-ulang seperti sebuah rutinitas sehari-hari, ini meyebankan kondisi yang kurang setabil dalam sistem pemerintahan kita sekarang sedangkan kondisi politik berkait erat dengan kondisi pemerintahan. Kondisi politik meyebabkan adanya tuntutan koalisi partai politik dalam legislatif sedang anti tesisinya secara tidak langsung menimbulkan Oposan dalam sistem pemerintahan Indonesia 
3.4  Tradisi oposisi

Salah satu kekurangan jika tidak mau disebut kegagalan  gerakan reformasi 1998
dalam bidang politik adalah menumbuhkan kekuatan oposisi yang terlembaga di DPR.
Selama 10 tahun terakhir, hampir tidak ada partai politik yang konsisten melakukan
counter atas kebijakan pemerintahan dengan menawarkan kebijakan alternatif yang lebih
baik. Kalaupun ada kritik atau ketidaksetujuan partai atas kebijakan ekonomi pemerintah
misalnya, namun partai sendiri sering tidak mempunyai tawaran konsep dan program
ekonomi yang jelas dan nyata.
Suara kritis yang disampaikan partai melalui wakilnya di DPR pada dasarnya bukan
mencerminkan bentuk oposisi mengingat suara-suara berbeda di DPR sering bersifat
individu dan tidak mewakili suara partai. Kesan kuat yang dapat ditangkap adalah orientasi dari sikap kritis DPR lebih dimaksudkan sebagai upaya ”penjegalan” atas rencana kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah ketimbang perdebatan konsep program. Karena itu, perbedaan pandangan politik antara politisi dan pemerintah yang kemudian bermuara pada hak angket acap kali berakhir dengan kompromi. Beberapa faktor yang melatarbelakangi belum tumbuhnya kehidupan oposisi dalam praktik politik dewasa ini adalah pertama, persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik. Kedua, selama 30 tahun para politisi tenggelam dalam kehidupan sistem politik otoritarian dan tidak kenal oposisi. Hal ini membuat partai atau politisi tidak terbiasa
membangun kultur politik berbeda dengan penguasa, baik dalam dataran artikulasi
maupun konsep operasional.
Ketiga, kelahiran partai politik umumnya belum mendasarkan pada panggilan atas masalah yang dihadapi bangsa, tetapi lebih memanfaatkan momentum keterbukaan politik. Implikasinya, antara satu partai dan partai lain nyaris tidak ada perbedaan substantif dalam platform dan program. Ditambah lagi dalam 10 tahun terakhir, system perekrutan anggota dalam partai dan DPR bersifat instan dan kurang melalui proses kaderisasi in
3.5  OPOSISI  JALANAN

Ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik sebenarnya dapat menjadi ancaman pelembagaan demokrasi ke depan. Kurang berfungsinya partai-partai politik yang mendapat posisi di DPR dalam menjalankan peran-peran kontrol sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah akan membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan oposisi ekstra parlementer. Selain itu, situasi ini juga akan mengakibatkan krisis legitimasi baik pada pemerintah maupun partai politik, tecermin pada rendahnya partisipasi politik masyarakat. Karena itu, ide atau keinginan Partai Golkar menjadi kekuatan oposisi ke depan amat positif, terutama dalam memberikan konsep alternatif atas kebijakan pemerintah. Minimal Partai Golkar dapat menjadi oposisi di bidang pembangunan ekonomi, sosial, pertahanan, dan politik luar negeri. Kemampuan membangun oposisi secara sehat dan efektif jauh lebih dapat menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat daripada duduk di kursi kekuasaan. Ajaran konfusianisme tentang pemerintahan mengatakan, suatu negeri lebih baik tanpa senjata dan makanan ketimbang tanpa kepercayaan rakyat.

3.6  PDI-P, OPOSISI YANG KESEPIAN

Perjalanan oposisi PDI-P pada masa pemilihan umum tahun pemilu 2004  ini partai-partai politik hasil penggabungan (fusi) produk pemerintahan Orde Baru pada tahun 1973, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia - "yang kemudian menjadi PDI Perjuangan. Seperti diketahui, setelah Koalisi Kebangsaan gagal menyandingkan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi menjadi presiden dan wapres, PDI-P lalu memproklamirkan diri sebagai "partai oposisi". Setahun sudah kiprah sebagai "partai oposisi" dikibarkan, namun partai yang pernah menjadi terbesar pada Pemilu 1999 ini seolah-olah beroposisi sendiri di DPR. Persoalannya, sebagian besar partai dewasa ini justru memilih kiprah berbeda yang lebih trendy, yakni berlomba-lomba menjadi "partai pemerintah".
3.7  Pola-Pola Oposisi
Kehadiran oposisi sebenarnya merupakan suatu kondisi normal dalam sistem demokrasi. Hanya saja, format oposisi lazimnya berbeda-beda pada setiap negara demokrasi karena amat tergantung pada sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang berlaku. Format oposisi dalam sistem pemerintahan presidensial jelas berbeda dengan pola oposisi dalam sistem pemerintahan parlementer. Begitu pula format oposisi dalam sistem multi partai tidak sama dengan oposisi dalam sistem dua partai dominan, di mana ada koalisi partai yang memerintah di satu pihak dan koalisi partai oposisi di pihak lain.
Menurut Robert A Dahl (1966), tidak ada suatu pola oposisi tunggal di negara-negara demokrasi. Dari segi tujuannya, paling kurang ada empat pola oposisi, yaitu (1) oposisi dalam rangka mengubah kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah; (2) oposisi yang bertujuan mengubah personalia pemerintahan; (3) oposisi untuk mengubah struktur politik yang berlaku; dan (4) oposisi dalam rangka mengubah struktur sosial ekonomi. Selain dapat ditinjau atas dasar tujuannya, oposisi juga bisa dibedakan atas dasar kohesivitas, pola persaingan, ciri khas, lingkungan pertarungan, dan pilihan strateginya.
Dalam negara demokrasi yang telah mapan di mana sistem politik dan pemerintahan telah diterima masyarakat, tujuan oposisi terbatas pada upaya mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem-sistem demokrasi yang masih mencari bentuk sehingga implementasinya masih dipersoalkan oleh publik, tujuan oposisi bisa lebih jauh, mulai dari mengubah personalia pemerintahan, struktur politik, bahkan struktur sosial ekonomi yang berlaku. Sementara itu, dari segi sistem pemerintahan, partai oposisi lebih lazim dalam sistem parlementer ketimbang sistem presidensial, kendati tidak selalu kehadiran partai oposisi bertujuan menjatuhkan pemerintahan hasil pemilu.
 Tidak Ada Dikotomi
Dalam konteks PDI-P kita patut memberi apresiasi atas pilihan menjadi "partai oposisi". Namun, hingga kini tidak begitu jelas, arah, format, dan tujuan oposisi. Apakah dari segi tujuannya oposisi terbatas untuk mengubah aneka kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil saja, atau lebih luas dari sekadar oposisi terhadap kebijakan. Lalu, bagaimana strategi PDI-P dalam membangun aliansi kekuatan oposisi, juga belum jelas.
Ini penting karena dalam konteks sistem presidensial yang dianut UUD 1945 hasil amandemen, pada dasarnya tidak ada dikotomi antara "partai pemerintah" dan "partai oposisi". Kabinet Indonesia Bersatu bukan pemerintahan koalisi partai-partai meski susunannya didasarkan atas kompromi terbatas Susilo Bambang Yudhoyono dan elite partai-partai. Karena itu, tiap partai pada dasarnya bisa bersikap oposisi terhadap kebijakan pemerintah tanpa menjadi "partai oposisi". Dalam kasus impor beras misalnya, beberapa partai - termasuk PKS menyatakan diri sebagai "partai pemerintah" - mengusulkan penggunaan hak angket DPR tanpa menyatakan diri partai oposisi seperti PDI-P.
Jika oposisi PDI-P dimaksudkan dalam rangka mengubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil dan tidak berpihak pada wong cilik, konsekuensi logisnya partai pimpinan Megawati ini harus menawarkan rencana kebijakan alternatif lebih baik dan menjanjikan. Dalam konteks kebijakan kenaikan harga BBM misalnya, PDI-P harus merumuskan kebijakan alternatif di luar sekema pencabutan subsidi. Jika tujuan oposisi guna mengubah kebijakan sekaligus personalia pemerintahan, partai ini harus menyiapkan "kabinet bayangan" dengan kompetensi lebih mumpuni dibanding personalia kabinet yang ada. Dengan format oposisi yang jelas, PDI-P tidak akan sendirian di tengah partai-partai pendukung pemerintah di DPR.
3.8  Pola pola opsisi pemilu tahun 2009
Oposisi PDIP Tidak Menguntungkan Langkah politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai oposisi sejak 2004 sama sekali tidak menguntungkan dan tidak efektif dalam mengontrol kinerja pemerintah, "Tidak menguntungkan dan tidak efektif dalam mengontrol kinerja pemerintah, karena sistem demokrasi di Indonesia belum maju seperti di Amerika Serikat (AS, ini karena pluralisme di Indonesia tidak didukung dengan matangnya dalam berdemokrasi seperti di AS.
Sedangkan oposan pemerintah berjalan efektif dalam mengontrol pemerintahan yang berkuasa di AS karena sistem demokrasinya sudah berjalan bagus dan matang, meski negara adi daya itu super pluralis. "Indonesia juga pluralis, namun belum matang dalam berdemokrasi, sehingga penerapan sistem oposisi di negara ini lebih bersifat setengah-setengah, peran politik PDIP sebagai oposan pemerintah masih berjalan "setengah hati", karena hanya melakukan kontrol di tingkat nasional, sementara di daerah tidak pernah berjalan karena sebagian penguasa di daerah seperti gubernur, bupati maupun wali kota berasal dari PDIP.
"Ini sebuah realitas politik, sehingga tidak efektif dan tidak menguntungkan kalau PDIP tetap mengambil sikap politik sebagai oposan pemerintah. dalam kongres partai ini di Denpasar, Bali pada 6-8 April 2010, PDIP perlu memikirkan untuk merevisi kembali posisi politiknya. "Lebih elegan dan menawan jika PDIP mengambil posisi koalisi dengan partai-partai besar, seperti Partai Demokrat yang kebetulan sedang berkuasa dalam pemerintahan, untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat guna mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia dari keterpurukan ekonomi dalam upaya memperbaiki kesejahterannya,"
Dalam konteks yang lebih luas, koalisi antara PDIP dan Partai Demokrat amat sangat memungkinkan jika memiliki ruang jiwa politik yang sama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Jika kondisi ini yang terjadi, maka pemerintahan yang sedang berkuasa sekarang akan berjalan langgeng tanpa adanya tekanan politik, karena partai-partai besar sudah bergabung dalam sebuah kekuatan politik untuk menata dan meramu rumusan pembangunan dalam upaya menyejahterakan rakyat,"  PDIP sebaiknya merevisi kembali posisi politiknya sebagai oposan pemerintah, karena sistem ini berjalan tidak efektif dan tidak menguntungkan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. "Jika PDIP memiliki hasrat yang besar untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, maka langkah koalisi merupakan pilihan terbaik, ketimbang harus tetap bertahan sebagai oposisi,"
BAB IV
PENUTUP
4.1  KESIMPULAN
Oposisi merupakan bentuk Konsolidasi demokrasi dalam sistem pemerintahan tidak sekedar untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses institusionalisasi politik, yang di dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun penciptaan prosedur kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi. Institusionalisasi politik pada dasarnya hendak melakukan reformasi sistemik institusi politik, prosedur dan aturan main yang lebih cocok dengan demokrasi. Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi politik, yaitu
 (1) institusi eksekutif-negara (lembaga kepresidenan, sistem pemerintahan, birokrasi dan militer);
 (2) institusi perwakilan (parlemen, partaipolitik dan pemilihan umum); dan
 (3) lembaga peradilan dan sistem hukum.
Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan crafting yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru yang dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi politik menjadi lebih akuntabel, transparan, terkontrol, responsif, partisipatif, dan berpijak pada rule of law. Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan dari konsolidasi konstitusional, hadir pada langkah awal dalam proses konsolidasi demokrasi.12 Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola perilaku formal dalam konstestasi politik, yang dikembangkan dan dinegosiasikan dalam proses transisi, dan memantapkan standarisasi penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan merancang konstitusi baru (rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada bagian awal konsolidasi demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada konsolidasi level berikutnya. Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi .
Karakteristik sosial dan politik berpengaruh besar terhadap sistem pemerintahan karena ketiganya memiliki hubungan saling mempengaruhi, Dalam melaksanakan agenda reformasi dalam pemerintahan maka banayak posisi kelembagaan Negara sekarang ini cenderung mengalami parkinsonisasi misal MPR sekarang kerang memiliki peran karena bukan lembaga tertingi Negara lagi, menyebabkan kondisi legislative dan eksekutif kurang seimbang dalam kewenanagnnya,maka diharapkan oposisi yang digalang partai PDI,P mampu mengimbangi power fullitas pemerintah.
Sayangnya, oposisi bukanlah tradisi di Indonesia.Para politikus kita cenderung bersifat kompromis, tak ingin berposisi oposisi.Bahkan partai yang paling keras sekalipun melunak ketika ditawari jabatan menteri. Jadi hakikat oposisi adalah terdapatnya satu atau beberapa partai politik yang mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. 
Solusi
Di Indonesia, perilaku oposisi  merupakan hal yang menjadi tidak biasa .Ada kecenderungan angapan oposisi hanya mementingkan kekuasaan. Akibatnya, partai oposisi sering di pandang sebelah mata pertimbangan partai koalisi. Melihat pentingnya peran oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia sekarang.
Tanpa berdebat soal sistem politik yang dianut, hakikatnya oposisi itu diperlukan. Sikap beroposisi dapat menjadi kontrol bagi siapa saja yang sedang berkuasa. Kekuasaan yang tanpa kontrol akan melahirkan pemerintahan yang korup.
oposisi itu diperlukan untuk memberikan kontrol terhadap penguasa. Tarik ulur penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menarik untuk dikaji. Bukan main “hirukpikuk” menuju finalisasi terbentuknya anggota kabinet yang lengkap. Bahkan hingga ke daerah,ada guyonan “siaga satu menunggu telepon dari Cikeas”. Saking banyaknya yang berharap untuk masuk ke dalam kabinet, hasil akhirnya melahirkan menteri pelangi, warnawarni. Tak soal jika warna-warni itu menunjukkan keragaman bidang keahlian.Namun, akan jadi hirukpikuk perdebatannya jika warnawarni itu justru menunjukkan ramainya ikut campur partai politik dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini. 
Mungkin ada beberapa alasan mengapa tercipta menteri yang warna-warni ini. Di antara alasan itu adalah karena oposisi bukan tradisi, strategi politik SBY yang berkeinginan menciptakan stabilitas yang langgeng.Stabilitas menjadi prioritas. Secara sederhana,oposisi dapat diartikan sebagai mengambil posisi berlawanan. Dalam politik, oposisi diartikan sebagai the opposition comprises one or more political parties or otherorganizedgroupsthatareopposed to the government, party or group in political control of an area,county, or state. Artinya, partai yang kalah dalam pemilu secara tegas memosisikan diri sebagai kelompok oposisi yang akan mengkritisi dan mengawasi secara ketat kebijakan- kebijakan pemerintah yang berkuasa. Persoalannya, apakah dalam semua sistem pemerintahan dikenal adanya oposisi? Memang secara teori oposisi sangat terang pada negara yang menganut sistem parlementer seperti Australia, misalnya.
Secara sederhana sistem di Australia dapat digambarkan begini. Sebenarnya Australia juga memiliki “belasan” partai politik. Namun biasanya yang muncul ke permukaan hanya dua kelompok besar saja,yaitu Liberal Party (Partai Liberal) yang secara tradisional berkoalisi dengan National Party (Partai Nasional) dan Labour Party (Partai Buruh). 
Katakanlah dua partai besar tersebut yang bertarung memperebutkan kekuasaan. Apabila pertarungan dalam suatu pemilihan umum tersebut dimenangi Labour Party, secara otomatis partai ini yang berkuasa. Memerintah dengan berbagai hak yang diperolehnya. Hak untuk membentuk kabinet, misalnya. Adapun kelompok Liberal Party sebagai partai yang kalah dalam pemilu dengan sendirinya menjadi partai oposisi.
Terkadang disebut juga dengan istilah government in waiting karena ada kemungkinan partai yang kalah ini bakal menjadi pemerintah pada pemilu berikutnya. Itu sebabnya oposisi di negeri ini telah mentradisi. Di parlemen, antara partai pemerintah dan oposisi ini benarbenar berada pada posisi berhadap- hadapan. Bahkan tempat duduk kedua kelompok ini juga berhadap-hadapan.

Semua langkah dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan di parlemen dan pertanggungjawaban ini sebenarnya lebih kepada pihak oposisi. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang lepas dari kontrol dan kritik dari oposisi. Dalam sistem parlementer, saking jelasnya posisi berhadaphadapan antara pemerintah dan oposisi, pihak oposisi membentuk pula menteri bayangan (shadow ministers).
Menteri bayangan adalah menteri-menteri yang dibentuk oleh oposisi untuk mengimbangi dan mengawasi pekerjaan pemerintah. Semisal pemerintah memiliki 20 menteri,maka partai oposisi yang menjadi lawan pemerintah akan pula membentuk 20 posisi yang berfungsi sebagai menteri bayangan.Tiap menteri bayangan akan secara ketat mengawasi menteri “mitranya” yang duduk di pemerintahan. Tentu saja menteri yang sebenarnya adalah menterinya pemerintah. Menteri oposisi lebih untuk menjalankan fungsi. Oposisi loyal diharapkan akan betul-betul memperhadapkan partai penguasa dengan oposisi dalam keseriusan untuk mengelola negara dan pemerintahan yang bisa menyejahterakan rakyat dalam berbagai dimensinya. Bukan sebaliknya, kekuasaan berkesan menjadi "kue" yang pantas dinikmati secara ramai-ramai dengan kemampuan tiap-tiap partai untuk meraihnya sehingga nasib rakyat yang mendesak untuk diperbaiki semakin jauh dari pikiran elite partai. Di samping itu, dalam alam demokrasi yang modern, kedudukan pemimpin partai oposisi akan menjadi sama penting dan berwibawa dengan posisi presiden di pemerintahan. Bahkan keduanya bisa saling bersaing untuk menunjukkan prestasi dan kontribusi bagi pembangunan demokrasi dan kesejahteraan rakyatnya. 
Dengan kemunculan oposisi loyal diharapkan partai kita lebih serius menjalankan roda pemerintahan guna mewujudkan amanat penderitaan rakyat .  Rakyat harus mengapresiasi secara adil dan seimbang di antara keduanya, karena dengan oposisi loyal akan lahir peradaban politik yang elegan untuk membangun demokrasi sekaligus kedewasaan bangsa. Sekali lagi, laku atau tidaknya partai dalam perjalanan diserahkan sepenuhnya pada sura rakyat, karena ibarat kehidupan maka vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan yang akan sangat menentukan hidup dan masa depan suatu partai politik.



DAFTAR PUSTAKA
·         Syaiie,Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia,Gema Insane Press,Jakarta,19991.
·         Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org
·         Sarwoto, Sistempemerintahan Prancis,Galih Indonesia,Jakarta,1985.






DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Identifikasi Masalah
1.3  Batasan Masalah
1.4  Metodologi Penulisan
1.5  Tujuan Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Etika
2.2 Pengertian Sistem Pemerintahan
2.3 Pengertian Pemerintahan
2.4 Pengertianoposisi
2.5 Sejarah Pemerintahan Indonesia
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Etika Pemerintahan
3.3 Konsekuensi Presidensial Di Tengah Transisi Demokrasi
3.4 Tradisi Oposisi
3.5 Oposisi Jalanan
3.6 Pdi,P Oposisi  Kesepian
3.7 Pola-Pola Oposisi
3.8 Pola Oposisi Pemilu 2009
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1 komentar: